Monday 29 December 2008

Christmas and the Year behind us

I had the mellowest Christmas ever.

By the way, heres a list about 2008:

  • Best song - The Kooks - See the Sun
  • Best music I listened to - Feist, The Kooks, Kings of Leon
  • Dream crusher - Nick Cannon
  • Best magazine - Off The Edge, my first subscription
  • Best book I read - George Orwell - Nineteen Eighty-Four
  • Worst moment - Passing out at Freedom Elite, Mont Kiara - 11.30pm
  • Best news story - The one where a dog saved four kittens from a burning house in Melbourne.
  • Best sports story - Manchester United continuing being the best football team in the world.
  • Worst sports story - How Manchester United fields teams without a single Mancunian in them, and looks like its heading towards a fully-outsourced player list.
  • Best movie I watched - Rocky Balboa
  • Worst movie I watched - The Value of My Sanity (Goat Films) Indie movie.
  • Worst music - Lil Wayne. There's no Jay-Z, Dr.Dre, Outkast, or even Biz Markie around this year, so they can't be giving out Grammy's to Flo Rida can they?
  • Best liquor company - Hennessy
  • Stupidest news : Mawi finally getting to fuck Ekin. I wish there was a video, as she's pretty hot.
Merry Christmas, and Happy New Year ;)

Tuesday 23 December 2008

Nilai sesat

Mum keeps HIV man in coop

NST - 22 Dec 2008

"...mereka yang tergolong dalam kategori pembawa HIV dianggap sebagai social outcast atau sampah masyarakat."
Mohamed Yusoff Ismail

Utusan Malaysia - 23 Dec 2008

----
Nilai-nilai yang telah diterap dalam masyarakat kami dicontohi oleh orang-orang sebegini. Entah bila boleh berubah.

A Really Large Number

US$ 700 billion.

"It's not based on any particular data point. We just wanted to choose a really large number."
Treasury spokeswoman,
23rd September 2008
Forbes.com

Confessions of a teenage communist

When I was a child (i.e. a couple of years ago), I decided I was going to go into economics, after seeing the work done by Jeffrey Sachs (who wrote The End Of Poverty, a high profile book endorsed by Bono, among others), Joseph Stiglitz (who wrote Globalization and Its Discontents, besides being a Nobel economics laureate, and widely credited with Clinton's now-revered economic policies) and Suze Orman (who does a personal finance talkshow, helping ordinary people with their financial problems, a modern-day financial Mother Teresa, in my books).

A couple of years ago, I was against free trade, globalization and capitalism ;and for redistribution, protectionism, socialism, and maybe a little bit of Marxism.

A couple of basic economics lectures later, I dropped all my principles and ideals, and now am a dyed in the black supporter of economic freedom.

Anyone who hasn't done Econs 101, would be excused to be in the state of mind I was in a couple of years ago. I remember the worldwide protests against globalization in the early part of this decade and wishing I was there, fuelled with Rage Against the Machine angst and Michael Moore delinquence.

Now, I'm nearing the end of my degree, which should put me in good stead to answer the economic conundrums we face. Should, right? But no, I still can't understand much of what goes on in the world. There are too many players, too many different ways of understanding civil, political, social, cultural and economic rights.

The only thing to do is to learn, read, read, and read some more, learn from the people who know what they're doing.

Last year, I found myself seated across from Malaysia's pre-eminent social scientist, a Fulbright scholar, a pioneer in Islamic finance and a few scholars in their own right, listening in open-mouthed awe, to Joseph Stiglitz delivering his ideas on the way forward in growth and development. I had just read his book on how the IMF is pure evil, and how everyone else in the world's institutions could do things better.

I just read another perspective, which serves as a lesson in how diverse economic thoughts are, thoughts I will not be able to get a grasp on at least for another few years.

An Open Letter to Joseph Stiglitz
by Kenneth Rogoff,
Economic Counsellor and Director of Research,
International Monetary Fund

Saturday 20 December 2008

19/12/2008
Utusan Malaysia

BISIK-BISIK AWANG SELAMAT

AWANG terharu dengan rayuan penoreh getah di Sik dan Baling yang meminta kerajaan membantu mereka menghadapi keperitan hidup akibat kejatuhan teruk harga getah sekarang. Rata-rata mereka adalah penduduk kampung pedalaman yang daif dan miskin.

Mereka ini tidak memberontak dan sebaliknya menyalurkan rayuan secara berhemah kepada pemerintah.

Sementara satu lagi senario, sebuah pertubuhan dipercayai dinaungi pembangkang dikenali Jaringan Rakyat Tertindas (Jerit) telah berarak dengan mengayuh basikal untuk mendesak kerajaan memenuhi kehendak mereka. Rata-rata mereka diwakili oleh satu kaum sahaja.

Semasa tiba di Parlimen semalam - ahli Parlimen pembangkang menyambut mereka bagaikan satu pesta. Ahli-ahli Parlimen itu turut ‘tumpang sekaki’ mahukan publisiti murahan. (Lihat gambar di muka 7).

Lebih dikesalkan kumpulan itu turut mengeksploitasi remaja untuk menyertai mereka.

Awang faham dengan kedua-dua senario itu. Cuma kita berharap biarlah rayuan itu disalurkan secara betul dan berhemah - dan bukan untuk menyusahkan semua pihak.

Awang – Pakar tersurat, tersirat.

_____________________________

Pakar betul si Awang, kira golongan intelek-tua-l, isi tersurat dan tersirat boleh ditafsirkan, macam pelajar Tingkatan Lima buat rumusan Bahasa Melayu. Awang tidak pernah mengatakan dirinya buta, jadi agaknya Awang ini menutup matanya tiap-tiap hari. Kasihan sungguh Awang, bagaimana nak menggelar dirinya intelek-tua-l jika terus menutup mata? Entah siapa sebenarnya Awang ni, mungkin dia memang buta, tetapi kita tidak tahu. Jika En. Awang ni betul-betul buta, saya meminta maaf. Jika mempunyai mata yang berfungsi, sila lihat gambar di bawah. Satu-satunya kaum yang disebutkan di atas nampaknya pelbagai rupa dan warna.

 - Fotopages.com

Friday 19 December 2008

The Zeitgeist Movie

I watched this at Palette Palate's Anything Goes Anything Shows night, last night.

This movie may change your life.

Or it may not. Or just may widen your perspective. Make sure you watch all three parts.


Thursday 18 December 2008

Pak Lah's lapses - the pandora's box of freedom

“There has been a lack of leadership to bring divisive forces under control, which emboldened religious extremists”
Lim Kit Siang on Abdullah Ahmad Badawi (18/12/08)


Worsening race relations are not manifesting themselves on the ground. The rhetoric we hear from communal leaders are divisive, yes, but of influence, no. Freedom of information has allowed people to obtain all they need to make informed decisions. Take a good, hard look around you, and you'll see race relations are the same as they always have been. There have been weakening ties, but at the same time we can see strengthening; the Makkal Sakti cry has been adopted by all races, Islam is no longer a purely Malay issue, human rights no longer the rallying call of the rich and English-speaking.

I don't think we can bring divisive forces under control and still maintain freedom of expression. There is no control over free speech. Pak Lah allowed for more discourse, ultimately leading to his own downfall; but we cannot chastise him for this.

The Nut Graph: Rakyat Malaysia Poyo?

Rakyat Malaysia poyo?
18 Dec 08

Oleh Fared Ayam dan Zahiril Adzim
editor@thenutgraph.com

“KENAPA” — satu perkataan yang paling kami kagumi. Kami percaya bahawa segala apa yang berlaku atau ingin dilakukan harus dikaitkan dengan “kenapa”.

Kenapa harus ada kenapa? Cuba perhatikan, perkataan yang sama boleh digunakan dua kali di dalam satu ayat. Menarik bukan?

Graf kebenaran dan kesempurnaan (y) dengan kenapa? (x)
Graf menunjukkan kadar Kebenaran dan kesempurnaan
dengan soalan Kenapa?

“Kenapa”, pada pendapat kami, merupakan satu perkataan berbentuk soalan yang takkan pernah selesai. Seperti sesuatu kejadian buruk yang berlaku berulang kali, dan ia mungkin juga boleh dikategorikan sebagai absurd. Seperti air sungai — tetap mengalir dengan tenang walaupun dihalang dengan satu empangan.

Namun, apa yang cuba kami ketengahkan di sini adalah, perkataan “kenapa” itu ada sambungan dan kesinambungannya. Ia bukan tentang membuat keputusan, tetapi lebih kepada mendekati kebenaran dan kesempurnaan.

Begitu juga dengan pegangan, pendirian atau ideologi yang dipegang, digenggam dan diperjuang. Tidak kira ianya datang dari segi demokrasi atau sosialis, globalisasi atau anarki, haluan kanan atau kiri. Pada permukaannya, itu semua hanya istilah yang dicipta demi membezakan sistem, falsafah, dan cara. Segalanya tetap akan berbalik kepada kenapa.

“Kenapa kita memilih itu? Kenapa kita mendukung ini? Kenapa kita memperjuangkan sesuatu?” Mesti ada kesinambungan yang akan membuatkan kita sedar kenapa. Kemudian, barulah kita boleh bersedia untuk menerima konsikuansi daripada pegangan dan kepercayaan tersebut.

Bagi kami, inilah pendirian yang sudah kurang kewujudannya dalam diri dan jiwa rakyat Malaysia. Sebaliknya, semuanya ingin dijadikan fesyen. Segalanya ingin dijadikan trend. Maka lahirlah segelintir manusia yang suka bercakap tentang sesuatu yang mereka sendiri tidak tahu. Manusia yang berjuang tanpa mengetahui atau memahami sebabnya. Tanpa mereka sedari, mereka sudah jatuh ke dalam golongan yang dikatagorikan sebagai poser. Istilah tidak rasminya “poyo” — bodoh tetapi berlagak pandai.


Diagram Venn

Bila fenomena begini berlaku, dalam apa sistem sekalipun, korupsi akan berlaku. Apa ideologi sekalipun akan menjadi sia-sia. Dari dunia aktivisme hinggalah ke dunia politik. Semuanya sama, jadi tunggang-langgang jika dibiarkan mereka yang poyo ini terus mendukung atau mencumbui sistem yang ada. Buktinya, kita lihat segala gerakan yang pernah dan sedang berlaku di Malaysia ini. Tidak kira dari sudut sosial atau politik. Kita dapat lihat betapa terumbang-ambingnya sebahagian mereka. Seperti satu sarkis.

Kekadang secara tiba-tiba, akan muncul satu kumpulan atau gerakan besar-besaran yang akan mempersoal atau menuntut sesuatu, kemudian, secara tiba-tiba, ia akan hilang begitu saja. Cepat naik dan cepat jatuh. Sebab apa? Bagi kami, ini semua terjadi kerana majoritinya hanya sekadar ikut-ikut saja, bukan benar-benar kental. Ikut suka-suka kerana mungkin pada waktu itu gerakan tersebut sedang jadi ikutan, trend terkini, serta hip.

Hip hop, indie, dan blog

Seperti zaman kebanjiran budaya hip hop di Malaysia pada penghujung 1990an. Semua remaja nak jadi hip hop, belajar menari breakdance, main skateboard. Lepas itu senyap.


Maciej Brzana / sxc.hu)

Kini zaman indie katanya. Semua yang konon-kononnya remaja dan golongan muda hendak buat band indie, bila pergi gig masing-masing punya SLR kamera, skinny jeans serta menari shuffle di pusat bandaraya. Semua ini berlaku kerana mereka tidak pernah ambil tahu apa yang mereka buat dan lakukan. Mereka buat bukan kerana mereka benar-benar kental dan faham. Tapi sekadar ingin nampak cool. Kalau tak cool, awek tidak suka, katanya.

Jika gerakan itu mendapat tentangan dari kerajaan atau tidak disokong majoriti rakyat, maka ramailah ahli atau pengikutnya yang tiba-tiba bertukar arah, berubah wajah, malah hilang entah ke mana. Tiba-tiba mereka ada falsafah dan kepercayaan lain. Maka makin lama makin berkurang dan kecillah gerakan itu hingga tinggal segelintir saja yang masih kental percaya dengan perjuangannya. Jadi akhirnya mereka menjadi gerakan minoriti yang tidak mampu melunaskan perjuangan mereka.


(© Craig Jewell / sxc.hu)

Seperti juga menulis blog yang sedang jadi budaya terkini. Tidak sama sekali kami menentang fenomena ini. Kami juga suka dan gembira dengan kelahiran suara-suara alternatif ini. Ia bagus kerana kita mampu menyedarkan media arus perdana, yang sering penuh dengan propaganda dan dusta dalam berita, bahawa mereka tidak selamanya akan berkuasa ke atas minda kita. Akan tetapi bila muncul blogger yang kami rasa menulis untuk suka-suka dan entah apa tujuannya kami masih tidak jumpa, kami rasa ralat, gusar.

Siapalah kami untuk mengatakan yang mereka tidak patut menulis begitu begini? Apa hak kami untuk mengatakan itu dan ini? Kami akui setiap manusia punya hak untuk bersuara. Tapi kami tidak mahu menjadi individu yang tidak belajar dari perkara yang sudah berlalu. Kami tidak mahu pisang berbuah dua, tiga kali.

Kalau terus wujud dan lahir individu yang melakukan sesuatu tanpa sebab, tanpa kenapa, maka pasti saluran alternatif seperti blog yang kita sedang ada ini juga akan jadi tidak berguna. Sekadar menjadi mainan gila-gila remaja yang hanya meminta dikomen gambarnya.

Wednesday 17 December 2008

Utusan Malaysia - Purveyors of Fine Free Speech

From Utusan Malaysia, 16 Dec 2008

Kaum India mesti bersatu angkat taraf hidup


AGAK pelik juga apabila Presiden MIC, Datuk Seri S. Samy Vellu mendakwa hak kaum India telah diabaikan termasuk sukar menyertai sektor awam, gagal memasuki universiti awam, tidak diagihkan rumah murah dan tersisih daripada tender kerajaan.

Apakah tujuan sebenar Samy Vellu hendak memburukkan kerajaan Barisan Nasional dan di mana semangat setiakawan yang dijunjung sebelum ini.

Jika semasa menjadi menteri, beliau menyatakan telah melakukan yang terbaik untuk kaum India di Malaysia, tetapi mengapa sekarang lain pula nada nadanya.

Sepatutnya Samy Vellu, MIC dan parti-parti yang mewakili masyarakat India berkerja keras untuk memperbaiki taraf hidup kaum India serta membendung penyakit sosial di kalangan mereka supaya tidak menjadi wabak.

Samy Vellu pun tahu beberapa tempat di Lembah Klang, penduduk setempat hidup dalam ketakutan akibat gangguan daripada kumpulan-kumpulan haram.

Hindraf sendiri dalam salah satu tuntutannya mendakwa pihak polis tidak mengambil inisiatif untuk mengatasi masalah sosial kaum India. Mereka menyalahkan pihak polis kerana tidak melakukan apa-apa.

Dan apabila pihak polis bertindak agak keras dan tegas, mereka menuduh pihak polis cuba menghapuskan kaum India. Dengan sebab itu timbullah satu laman web yang diberi nama police watch oleh Hindraf sendiri dengan matlamat untuk mengawasi pergerakan polis. Inilah Hindraf yang dikatakan memperjuangkan hak asasi kaum India di Malaysia di mana Samy Vellu sendiri sudah mula terikut-ikut rentaknya.

Sebenarnya masalah masyarakat India hendaklah diselesaikan sendiri oleh orang- orang India seperti ketua-ketua masyarakatnya. Samy Vellu mungkin telah cuba sedaya upaya semasa beliau berada di dalam Kabinet.

Malangnya, masalah terbesar di kalangan pemimpin-pemimpin India adalah kerana mereka tidak boleh bersatu. MIC dengan Samy Vellu-nya, IPF dengan ketua barunya, PPP dengan Kayveas-nya manakala MIUP dengan Nalakarupan-nya.

Walaupun mewakili penduduk minoriti iaitu lebih kurang 2 juta dari penduduk Malaysia, namun pemimpin-pemimpin mereka tidak boleh duduk semeja untuk berbincang. Masyarakat keturunan India Malaysia sebenarnya masih kuat berpegang dengan 'sistem kasta' seperti yang diamalkan di negara India itu sendiri.

Perkara itu memang tidak boleh dinafikan. Kita boleh lihat sendiri cara-cara golongan bertaraf sederhana dan tinggi (kasta atasan) berinteraksi dengan golongan bertaraf rendah. Golongan bertaraf tinggi pada kebiasaan akan memandang rendah golongan bertaraf rendah.

Agak sukar untuk dipercayai apabila ada kalangan masyarakat India yang masih berpegang kepada amalan ini. Sebab itu kita boleh lihat orang kaya dari golongan bertaraf tinggi akan bertambah kaya, manakala yang miskin dari golongan bertaraf rendah akan menjadi bertambah miskin.

Yang kaya agak sukar untuk membantu golongan miskin. Mereka tiada kata sepakat dalam mencari jalan untuk membantu kaum mereka sendiri. Mungkin di atas sebab-sebab inilah mendiang Tan Sri Pandithan keluar dari MIC dan menubuhkan parti IPF kerana kecewa dengan tindak tanduk MIC tidak mahu membantu golongan miskin di kalangan penduduk keturunan India. Contohnya penduduk-penduduk India di estet-estet di seluruh negara.

Selagi ikatan 'kasta' tidak terlerai, selagi itulah masyarakat India akan berdepan dengan masalah kemiskinan tegar dan masalah-masalah lain kerana di kalangan mereka sendiri tiada kata sepakat.

'Sistem kasta' inilah yang sebenarnya menjadi batu halangan kepada masyarakat India di Malaysia untuk bersatu dalam memajukan bangsa mereka sendiri.

Dan apabila mereka gagal, mereka akan menyalahkan orang lain terutamanya UMNO seperti yang didakwa oleh Hindraf kononnya kerajaan BN yang ditunjangi oleh UMNO gagal membantu mengatasi masalah kaum India di Malaysia.

Hakikatnya orang India sendiri yang gagal membantu kaum mereka sendiri. Akhir sekali satu soalan kepada Datuk Seri Samy Vellu. Mengapa hendak mendapatkan bantuan dari luar setelah anda sendiri berasa gagal memimpin kaum India di Malaysia?

TAMINSARI
Shah Alam

Tuesday 16 December 2008

The Nurin debate

A follow-up to the debate on the Nurin alert.

From tembam.wordpress.com:
What?? After Nurin still not enough thinking??

My original letter to the editor appeared in the NST on the 11th of December:

On the 16th of November, Women, Family and Community Development Minister Datuk Seri Dr Ng Yen Yen was quoted saying that the Nurin Alert was not part of the Child Protection Policy to be submitted to the cabinet for approval. The system was supposed to be a mechanism to disseminate information on missing children so that it reaches the public in the shortest time possible and ultimately help locate the children.

On the 23rd of November, the minister claimed that the system was in place but not with the name Nurin Alert.

The ministry should show more sensitivity and consider the requests of Nurin's family for the alert to be named after her. After all, it was an idea mooted by Nurin's uncle Jasni Abdul Jalil and his group of blogger friends following the tragedy. Also, the American AMBER alert system it is based upon was named in honour of Amber Hagerman, a nine-year-old who was abducted and murdered in Texas.

The minister followed by saying that it was inappropriate to "splash the news of a missing child in newspapers for the first few hours". I recall a case last year where a child was found within a few hours after the parents sent out text messages about the kidnapping to the public. It would seem obvious that the dissemination of information would be the priority after a child goes missing, and this is in line with the aim of the alert system.

The minister is totally out of depth serving a ministry that is expected to show sensibility and care in these matters. She should change her ways or resign.

Just a cleaned-up version of my earlier rant on this blog.
The crux of the matter was how the minister in question just brushed off the suggestion that Nurin's name be used.

“I’ve said it clearly that the name ‘Nurin Alert’ is not in our programme or part of our plans on child protection. But the whole mechanism and processes from A to Z have been discussed and is already in place” NST 23 Nov 2008

I felt that statement was uncalled for.

Should read an earlier post by Tembam too:
Will Someone Wake This Minister Up Please!!


Good to note that there is a healthy debate going on.

Fatwa on yoga: What about belly dancing?

From the NST - 27/11/2008

WAN ABU BAKAR WAN TEH IBRAHIM, Petaling Jaya

SO the National Fatwa Council has ruled against yoga for Muslims ("Yoga ban" -- New Sunday Times, Nov 23). The reasons seem clear.

Perhaps we should also look into tai chi. It may have hidden religious elements, perhaps borrowed from the rites of Shaolin monks?

What about aerobic dancing? Probably no religious element there, but there may be a touch of hedonism.

Then there is belly dancing. If done vigorously, it can have aerobic benefits. The gyrations should also help loosen tense muscles and promote flexibility.

Belly dancing also has an Arabic flavour, and that may make it somewhat acceptable. According to one former member of parliament, even RTM inadvertently played belly-dancing music when announcing breaking-of-fast times a long time ago.
Furthermore, some belly dancers wear veils. That should find favour with those who subscribe to this apparel over the normal head-covering. The rest of the costume is rather skimpy, but one can always wear a tracksuit over it.

Belly dancing should be performed by women among women away from the prying eyes of men. Men should avoid doing belly dancing as that may be considered effeminate behaviour.

In short, if done under certain conditions, would not belly dancing be a suitable alternative to yoga?

Fareed Zakaria interviews Colin Powell

"I believe that the greatest political force at work today is economics."
Colin Powell
Fareed Zakaria : GPS (CNN; 14/12/2008)

Read the full transcript by clicking on the title of this post.

Tuesday 9 December 2008

Lets keep it moderate

The Bukit Antarabangsa tragedy was something everyone seemed to expect. But could do nothing, it seems, to prevent. We've heard it from everyone inside or outside government how it was an accident waiting to happen, but nobody has stood up to say they did anything to stop it from happening (even though they knew it was going to happen) or take the blame (even though they seem to know exactly who to blame).

It seems the only thing unspoken about the tragedy was how the affluence of the area might affect the post-tragedy actions.

The government today announced that they might take the unprecedented step of putting the evacuees in hotel rooms if they don't have family or friends to live with. I don't think this idea was ever mooted when there were floods and landslides in areas in Terengganu, Johor, Pahang, among others.

Maybank has also announced financial relief plans for the victims of the disaster.

These steps are good, solid ways to help the victims. One only hopes that these steps will be taken in the future when dealing with other disaster victims from lesser known areas.

*The Star on Sunday carried an article which mirrored the thoughts in this post.

Thursday 4 December 2008

Another thing I blame you for

You, the government.

I am no fan of government, I believe (quite like American Republicans) that government should get out of our way, and let us get on with living our lives freely.

But there are numerous things we need government for, safety and justice are a couple but certainly not to control the price of nasi kandar and teh tarik.

Nurin's death struck me hard, I am not related to her, but I feel for her family and as I write this my eyes are welling up. Reading about what happened to her, how the pictures came out, pictures I did not and would not see, I just can't accept how justice has not prevailed.

Nurin's uncle had proposed an alert system to be named after her, just like the US' AMBER alert which was named after Amber Hagerman who was abducted and murdered in Texas in 1996.

What in fuck has been going on the ministry for this to not have been implemented. The minister in charge, Ng Yen Yen, came out and said there was no proposal a few weeks ago on the 16th of November, and a week after that on the 23rd, claimed there was a system in place but it was not to be named after Nurin. If we had had a system like this, we might have saved numerous lives. Yes the word is might, and we might not have had a child killed in such a manner.

Yen Yen should resign, shut her fucking trap and when another avoidable case comes up, I hope she has blood on her hands. Her apathy sickens me.